Ratib Tahlil, Bidah Sesat?

RATIB TAHLIL, BID'AH SESAT?

Membaca Ratib Tahlil atau tahlilan saat berziarah makam atau mengadakan acara selamatan dan lain-lain sudah begitu membumi di tengah masyarakat Nahdhiyyin Indonesia atau Ahlussunnah pada umumnya.
Namun Ratib Tahlil yang berisikan tentang bacaan al-Qur'an, dzikir, shalawat, kalimat Tahlil, tasbih dan do'a seakan-akan tidak ada akhirnya di cederai oleh beberapa kalangan sebagai amalan bid'ah yang sesat. Dan pelakunya, menurut mereka,  berdosa karena mengamalkan sesuatu yang tidak pernah di sabdakan dan di amalkan oleh Rasulallah maupun para Khulafa'  Rasyidin.


Untuk membahas masalah legal dan tidaknya membaca Ratib Tahlil tersebut, dapat kita tilik melalui sudut pandang apakah ratib tersebut memang haram di baca karena tersusun dari ilham dan bukan dari Rasulallah dan apakah pahala pembacaan tersebut boleh di hadiahkan dan sampai kepada mayit serta mayit mendapat manfaat dari bacaan tersebut.

Ratib Tahlil memang tidak pernah di baca atau di amalkan oleh Rasulallah dan para salaf, akan tetapi mengatakan haram membaca atau menuduh bid'ah yang haram adalah klaim yang ekstrim dan tidak benar. Alasannya:
Tidak setiap sesuatu atau amalan yang tidak di lakukan oleh Rasulallah atau ulama salaf adalah haram di lakukan. Mereka tidak melakukan (tarku) adalah bukan dalil. Padahal penetapan hukum haram harus melalui dalil dan dalil dalam agama adalah al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.

Difinisi Sunnah adalah sabda, prilaku, akhlak dan persetujuan (taqir) Rasulallah serta tidak memasukkan sesuatu yang tidak di lakukan oleh Rasulallah (tarku) dalam difinisi sunnah tersebut.
Mengatakan setiap yang tidak di lakukan oleh Rasulallah adalah bid'ah yang haram adalah pernyataan bodoh, tidak obyektif serta jahil terhadap hadits-hadits Rasulallah dan ilmu ushul fiqh. Selain itu, juga menyelisih  pernyataan ulama-ulama Islam tentang pengertian bid'ah. Lihat lengkapnya pada pembahasan bid'ah hasanah atau maulid.

Ratib Tahlil sebagaimana penjelasan di atas adalah berisi ayat al-Qur'an, tasbih, tahlil, shalawat dan do'a-do'a. Semua amalan-amalan tersebut adalah baik menurut Islam. Adapun menyusun amalan-amalan tersebut menjadi sebuah Ratib juga tidak ada larangan dari Rasulallah karena membacanya secara umum adalah anjuran serta tidak di batasi waktu dan tempat.

Mengharamkan membaca do'a hasil dari ilham adalah pernyataan bodoh dan menyelisih sunnah Rasulallah. Sebagaimana para Shahabat Rasulallah juga pernah berdo'a dengan do'a hasil dari ilham serta Rasulallah tidak mengingkarinya. Lihat al-Bukhari (V/47), ath-Thabarabi dalam al-Ausath (X/203), at-Tirmidzi (V/515), Abu Dawud (II/79), Ahmad dalam Musnad (III/158 dan 245), an-Nasa'i (III/52) dan Ibnu Majah (II/1268).  

Sedangkan pertanyaan apakah pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit dan mayit dapat menerima manfaat. Jawabnya adalah benar, sampai kepada mayit dan mayit juga dapat merasakan manfaatnya.

Al-Faqih Abdullah al-Hanbali dalam Ghayah al-Maqshud mencoba memformulasikan pendapat-pendapat ulama yang menyatakan bahwasannya pahala amal shalih dapat sampai kepada mayit, seperti haji, shadaqah, kurban, umrah dan membaca al-Qur'an. Dan tidak di sangsikan lagi, hal tersebut memasukkan dzikir-dzikir seperti tahlil, takbir dan shalawat salam pada Nabi. Semua itu adalah termasuk amal shalih, bagi pembacanya mendapat pahala dan apabila di hadiahkan kepada mayit, maka Allah menerimanya dan di sampaikan kepada mayit. Dan jika telah sampai pada mayit, maka mayit akan merasakan manfaatnya karena anugrah Allah.

Senada dengan Abdullah al-Hanbali adalah Syaikh Burhanuddin al-Marghinani (Hanafiyyah) dalam kitabnya al-Hidayah, Badruddin al-Aini dalam Syarah al-Kanz, Ibnu Abidin dalam Radd al-Muhtar,Syaikh Ali Qari dalam Syarah al-Mansak al-Mutawassith, Ibnu Rusyd (Hanbali) dalam an-Nawazil, al-Qarafi dalam al-Furuq, Ibn al-Hajj dalam al-Madkhal, al-Haththab dalam Syarah Khalil, asy-Syirbini (Syafi'yyah) dalam as-Siraj al-Munir, an-Nawawi dalam ar-Raudhah dan Syarah Muslim, as-Suyuthi, Ibnu Shalah dan as-Subki dalam Fatawi mereka dan lain-lain.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Siapa yang beranggapan bahwa seseorang tidak bisa mengambil manfaat kecuali dari amalnya sendiri, maka dia telah merobek Ijma'". Beliau juga mencantumkan 11 alasan sebagaimana yang tercantum dalam kitab Ghayah al-Maqshud fi Tanbih 'ala Auham Ibni Mahmud halaman 101.

0 Response to "Ratib Tahlil, Bidah Sesat?"

Post a Comment